Pagi Bekasi, aku
membuka jendela kamarku. Malam telah berganti pagi, menyisakan embun pagi yang
akan segera hilang tertelan hangatnya mentari. Kicauan burung terdengar
mengalun, memberikan keindahan pagi ini. Sebentar membantu kedua orangtua
menyiapkan sarapan kemudian bergegas mandi untuk pergi ke sekolah.
Fazriyah
Azzahra. Aku gadis yang shalehah, terlahir dari keluarga yang harmonis dan
berkecukupan. Walaupun aku bukan terlahir dari keluarga seorang ustad atau
ustadzah, bukan juga keluaran pesantren, tapi aku bisa menjadi penyemangat
ibadah keluargaku.
Jarum
jam tanganku sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Setelah menyantap sarapan
buatan mamah, segera aku melangkah menuju sekolah. Aku menyusuri lorong sekolah
menuju kelas namun sebelumnya aku harus melewati perpustakaan, laboratorium dan
ruang guru.
“Gubrak..!!”
Aku menabrak sesuatu dihadapanku membuat semua buku-buku genggamanku terjatuh.
Siapakah sosok yang kutabrak ini, mencoba menoleh ke arahnya. Nampaknya seorang
pria tinggi, berkulit putih dan shaleh.
“Hati-hati
yah..” ucapnya melepas senyum dari bibirnya.
Aku
menatap wajahnya dalam-dalam. Bibirku berat untuk berucap, seperti ada sebuah
sengatan listrik yang menyambar tubuhku, terutama hati ini. Nafasku begitu
berat.
“Kamu
gak apa-apa kan?” tanyanya menyadarkan lamunanku.
“Gak
kok” seraya membungkuk memunguti buku-bukuku yang terjatuh. Kulanjutkan
langkahku. Namun masih terbayang sosok pria tadi. *teeng* suara bel mengagetkan
lamunanku. Lalu aku dengan tergopoh-gopoh berlari menuju kelasku.
“Assalamu’alaikum
Faz, kau telat lagi, Pak Bahri pelajaran pertama loh” Sapa Kheisya, teman
sebangku ku.
“Waalaikumsalam
Sya. Hehe.. Tadi ada gangguan pas kesini” Jawabku. Entah kenapa aku masih belum
ingin menceritakan soal kejadian tadi kepada sahabatku ini. Mungkin aku perlu
menenangkan diri sebentar. Selama pelajaran Pak Bahri, aku masih melamunkan
sosok pria itu. Siapakah pria itu?
*****
Angin
di pagi itu berhembus sangat pelan. Sementara suara-suara kesibukkan terasa
terdengar ke telinga. Tak lupa, aku ucap syukur kepada Allah, karena aku masih
diberikan anugerah untuk bisa membuka mata kembali dan menikmati indahnya alam
ini.
“Selamat
pagi mah..” Kudekati mamah yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapanku.
Kucium keningnya.
“Selamat
pagi anakku tersayang, tumben pagi ini ceria sekali” Aku hanya balas dengan
senyuman. Pagi ini terasa ada yang mengganjal di hati.
*****
Di
sekolah aku bercerita kepada Kheisya tentang kejadian soal kemarin.
“Assalamu’alaikum
Kheisya” Aku segera menyapa Kheisya yang sedang duduk sambil melihat ke luar
jendela.
“Wa’alaikumsalam
Fazriyah” Ia melontarkan senyum lesung pipitnya kepadaku.
Kemudian
aku menyimpan tasku di atas meja, duduk di sebelah Kheisya, lalu terdiam
sejenak. “hahhh…” Aku menarik nafas panjang untuk melepas lelahku berjalan dari
rumah sampai ke kelas ini. Suasana ruang kelas yang berisik seakan telah
menjadi senandung rutin tiap harinya. Disudut depan kanan sana, sudah banyak
yang bergossip, sedangkan di sudut belakangnya mereka sibuk mengerjakan tugas
yang belum terselesaikan di rumah atau memang mereka lupa mengerjakannya.
Entahlah.
“Sya,
kemarin aku bertemu dengan pria yang tampan dan shaleh. Ia menabrakku saat
keluar dari ruang guru. Apa kamu kenal sama dia?”
“Ouh
iya katanya ada kabar kalau di sekolah kita ada anak baru, namanya Fatih, dia
anak XII 4. Dia seorang pemuda yang tekun beribadah, rajin mengaji, tidak
banyak cakap tapi pekerja keras, kalau kata iklan sih ‘talk less do more’ hehe..” Aku mendengarkan dengan teliti, Kheisya
menceritakan tentang Fatih panjang lebar. Heran, dia dapat info sebenyak itu
dari siapa?
*****
Bel
istirahat berbunyi, murid-murid pun berjalan menuju arah kantin. Aku dan
Kheisya pun begitu. Tiba-tiba saja mataku terbelalak tertuju ke arah pria yang
sedang duduk di meja kantin pojok sana.
“Kheisya,
temani aku menemui kak Fatih yuk”
“Boleh,
tapi jangan lama-lama yah, perut aku udah kerocongan nih” tukasnya. Dengan
jalan perlahan aku datangi kak Fatih yang sedang duduk.
“Kak,
maaf soal kemarin pagi. Saya tidak sengaja” Kataku.
“Oh,
yang kemarin itu, gpp kok, lupain aja itu ketidaksengajaan”
“Kalau
boleh tau nama kakak siapa?”
“Saya
Fatih, kelas XII 4”
“Saya
Fazriyah kelas XI 2. Salam kenal ya kak” Lalu aku dan Kheisya bergegas pergi
dari tempat kak Fatih berada.
Hatiku
berbunga-bunga, rasanya bahagia bukan kepalang. Aku seperti mendapat sebuah
hadiah terindah karena aku bisa berkenalan dengannya. Duduk bersandar di bangku
taman sambil menikmati snack yang baru saja kubeli di kantin bersama sahabatku
Kheisya. Kebiasaan inilah yang kulakukan menghabiskan jam istirahat.
*****
Diketika
hari mulai meredam, mentari hanya tersenyum sedikit saja. Aku masih terdiam tanpa
kata, karena masih memikirkan pemuda itu. Aku merasa hal ini adalah yang paling
bodoh yang dirasakan olehku.
Saat
itu juga aku mencoba hempaskan tubuhku yang lunglai diatas kasur. Sejenak
melepas penat di kepala. Kak Fatih memang sangat taat beribadah termasuk dalam
menjaga hatinya dari cinta yang belum waktunya. Memang kak Fatih dambaan semua
wanita terutama aku.
“Subhanallah,
pemuda itu tampan sekali shaleh pula, tapi sayang aku bukan siapa-siapanya dan
tidak berhak memandangnya terlalu lama.” Kataku dalam hati. Hari demi hari
akhirnya aku kenal dan akrab dengan kak Fatih karena setiap acara pengajian
kami selalu bertemu.
Aku
senang karena bisa akrab dengan kak Fatih, tapi aku selalu berusaha
menetralisir hatiku karena aku belum berani mengubah rasa senang ini menjadi
cinta. Aku punya anggapan bahwa berani mencintai harus berani menikah sehingga
cinta itu bisa terjaga dari godaan syaiton, sedangkan aku merasa belum siap
untuk menikah.
Aku
berdo’a meminta pada Allah, “Ya Allah, aku menyukai seorang lelaki bernama
Fatih, tapi demi menjaga hatiku agar selalu tetap mencintai-Mu, agar bisa jauh
dari nafsu semata, Jangan dekat-dekat dengan zina aku belum berani
mencintainya, karena saat ini aku belum siap menjadi halal baginya. Semua ini
aku lakukan karena cintaku pada-Mu jauh lebih besar. Maka dari itu aku
menitipkan dia pada-Mu, semoga Engkau masih menjaganya untukku, jadikan dia
jodoh yang baik bagiku. Saat ini aku ingin mempersiapkan diri menjadi pribadi
yang lebih baik untuknya. Semoga Engkau meridhoi niat baikku ini. Aamiin”
*****
Hari
demi hari tidak ada hubungan spesial antara aku dan kak Fatih, tidak ada
komunikasi yang berarti kecuali masalah-masalah mengenai kegiatan masjid.
Hingga saatnya perpisahan kelas XII tiba. Kemudian handphoneku berdering tanda
SMS masuk, isinya seperti ini:
From : Kak Fatih
Assalamu’alaikum.. Fazriyah tunggu aku
hinga batas waktunya tiba
|
Aku
bingung, apa sebenarnya maksud dari SMS itu. Sempat ku balas:
To : Kak Fatih
Waalaikumsalam. Batas waktu?
Maksudnya? Menunggu untuk apa?
|
Namun
tak ada jawabnya lagi. Aku pun tidak terlalu memikirkannya dan fokus dengan
belajar untuk masa depanku.
*****
(7
tahun kemudian) Pada hari itu, terdengar pintu rumahku diketuk. Aku sudah lulus
kuliah bidang kedokteran. Segera ku bukakan pintu dan betapa kagetnya aku
ketika melihat kak Fatih bersama temannya mengunjungi rumahku.
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam”
“Faz
bisa ganggu sebentar?”
“Iya
boleh, ada apa kak?”
“Ada
yang mau saya bicarakan”
“Oh
boleh, silahkan masuk saja”
“Terimakasih”
Saya
memanggil ayahku untuk menemaniku menerima tamu yang bukan muhrim. Saat itu
Fatih telah menjadi seorang pengusaha fashion
muslim.
“Emmmm,
gini Faz saya kesini mau mengatakan sesuatu” Kak Fatih berkata dengan suara
bergetar dan gugup.
“Menyampaikan
apa kak?”
“Saya
kesini ingin melamar kamu Faz”
“Tujuan
membentuk bahtera keluarga kakak apa?”
“Insyaallah
saya ingin memiliki keluarga sakinah mawadah warohmah yang taat pada Allah,
berada di bawah naungan jalan dakwah”
Setelah
aku berbincang cukup lama dengan keluargaku, maka aku memutuskan untuk menerima
lamaran kak Fatih. Ternyata dalam kebahagiaan mendengar putusan itu, kak Fatih
tersenyum kecil kepadaku. Cara ia melihat tak bisa menyembunyikan rasa kebahagiaan
yang terpancar wajahnya.
“Alhamdulillah
ya Allah, impian yang tak mungkin rasanya kudapatkan, ternyata dengan izin-Mu
aku bisa mendapatkan orang yang aku sukai karena-Mu. Engkau mengabulkan segala
do’a-do’aku” Kataku dalam batin.
Bahkan
cara aku dan kak Fatih bertemu pun suatu kisah yang tak bisa diduga dan
ditebak, tak sangka dalam diam aku dan kak Fatih telah jatuh hati.
Malam
harinya, aku tak bisa tertidur karena terbayangkan bagaimana kak Fatih bisa
menjadi calon suamiku. Anehnya lagi, tak sediktpun aku menyadari kalau kak
Fatih menyukaiku.
*****
Tepat
di pagi hari nan cerah, jarum jam telah berada di posisi angka sepuluh, aku dan
kak Fatih resmi menikah.
“Alhamdulillah,
aku menjaga diriku utuh untukmu, untuk hari ini dan akhirnya Allah
mempertemukan cinta dan kasih sayang kita. Semoga keluarga kita selalu mendapat
Ridho dari-Nya” Dengan meneteskan air mata aku mengatakan di depan suamiku
tercinta.
“Aamiin..
Jadilah istri yang shalehah buatku” lalu suamiku mengecup keningku untuk pertama
kalinya.
Betapa bahagianya hati
ini ketika merasakan kemesraan yang sebenarnya. Hati kami selama ini sama-sama
terjaga hingga akhirnya dipersatukan di dalam ikatan yang suci, dibawah ridho
Allah, sah dimata manusia, sah dimata Allah.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar